Jumat, 06 April 2012

MEMBUAT SEKOLAH KOK TIRU-TIRU


Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 50 ayat 3 : “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi Sekolah Bertaraf International”. Dan dijabarkan dalam pasal 62 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan : “Pemerintah bersama-sama pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi Sekolah Bertaraf Internasional”. Jadi sejak tahun 2005-2009 Kementrian Pendidikan Nasional telah membuat rencana strategis, bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa, perlu dikembangkan Sekolah Bertaraf Internasional pada tingkat kabupaten/kota melalui kerjasama yang konsisten antara Pemerintah dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Mulai saat itu banyak sekolah berfikir untuk memperoleh legitimasi dari pemerintah guna menjadi penyelenggara pendidikan yang bernama “Rencana Sekolah Bertaraf Internasional” (RSBI). Maraknya sekolah-sekolah mencari legitimasi dari pemerintah tentang penyelenggaraan Sekolah Standar Nasional (SSN) dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, dengan harapan mendapat subsidi dana dari pemerintah. SMP Muhammadiyah 2 Genteng Surabaya justru mencari alternatif lain dengan menyusun program Sunday School, yang konsekuensinya harus membiayai secara mandiri. Program Sunday School yang dirintis oleh civitas akademika SMP Muhammadiyah 2 Genteng Surabaya pada esensinya tidak mengurangi dari rencana besar Pemerintah tentang RSBI yang orientasinya berbasis bahasa Inggris. Bahkan dalam Sunday School, setiap peserta didik dibekali dengan dua bahasa yaitu bahasa Inggris (bahasa internasional) dan bahasa Arab (sebagai ciri khas sekolah Islam).
Mulai tahun 2009 kepala SMP Muhammadiyah 2 Genteng Surabaya selalu mengajak stafnya berdiskusi tentang wacana baru dari rencana besarnya, yaitu pada awalnya menfasilitasi peserta didik yang belajar di sekolah sampai larut malam, sehingga muncullah ide untuk mendirikan semacam pesantren. Hal ini juga untuk menjawab keinginan wali murid mengenai anak-anaknya yang akan dikirim ke pondok tetapi tidak mau berpisah dengan anaknya. Salah satu usulan yang lahir waktu itu adalah memfasilitasi peserta didik untuk menginap dua atau tiga malam dilingkungan sekolah, setelah dipertimbangkan plus dan minusnya akhirnya pada suatu hari mengerucut untuk belajar satu hari penuh yaitu jatuh pada hari minggu (ahad).
Karena tidak mau mengurangi waktu belajar secara regular, maka mengambil hari liburnya regular yaitu hari ahad. Diberi nama “Sekolah Minggu” karena waktu belajarnya hanya pada hari minggu saja. Pemberian nama sekolah minggu juga menimbulkan pro dan kontra baik dari dalam maupun dari luar atau wali murid, nama merupakan labelitas dipermukaan tetapi yang penting esensi pelaksanaan. Akhirnya program sekolah minggu tetap berjalan dan dalam perjalanan peserta didik memberikan sebutan pada diri mereka dengan istilah siswa “Sunday School” (SS), yang kemudian nama itu diterima oleh semua peserta didik dan staf pengajar, maka sebutan itu kemudian dipakai sampai sekarang yaitu “Sunday School” (SS).
Sebelum program ini dilauncing disusunlah kurikulumnya terlebih dahulu, dengan mengundang staf dan guru-guru ISMUBARIS (Al Islam, Kemuhammadiyahan, Bahasa Arab dan Inggris). Dari beberapa kali rapat yang diadakan kemudian mengerucut materi yang diberikan dalam SS meliputi pengembangan wawasan yang mengarah pada life skill, bahasa yang terdiri dari bahasa Inggris dan bahasa Arab serta kajian hukum Islam menurut faham Muhammadiyah (Kitab Tarjih). Dengan harapan setiap peserta didik memiliki kecakapan hidup dalam menjawab tantangan ke depan dengan menggunakan bahasa yang dikuasai (Arab dan Inggris) serta dasar aqidah yang mantap.
Pada tahun pelajaran 2010-2011 program “Sunday School”  dilauncing sebagai program unggulan SMP Muhammadiyah 2 Genteng Surabaya, pada angkatan pertama yang menjadi peserta didik sebanyak 23 anak yang terdiri dari anak-anak kelas 7 dan 8. Bulan Juni 2011 peserta didik Sunday School melakukan pertukaran budaya dan presentasi karya siswa ke luar negeri, tepatnya di Sekolah Menengah Sri Al-Amin  Bangi, Sekolah Menengah Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) dan Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) serta Madrasah Al Islam Aljuneid Singapore. Program ini bukan hanya studi tour sebagai mana yang dilakukan oleh sekolah-sekolah Indonesia pada umumnya yang berangkat ke Malaysia dan Singapore, tetapi pengenalan budaya khas Jawa Timur dalam hal ini Tari Remo dan hasil karya anak-anak yang dipresentasikan di depan dewan guru dan murid-murid sekolah Malaysia dan Singapore dengan menggunakan bahasa Inggris.
Hasil evaluasi 2011 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan, seluruh RSBI yang ada di negeri ini belum layak menjadi SBI. Hasil dari evaluasi tersebut menerangkan jika seluruh RSBI yang jumlahnya mencapai 1.305 belum layak naik tingkat menjadi SBI. Kondisi ini cukup kontras dengan strategi awal pencananganan program. Waktu itu dirumuskan jika keberadaan sekolah berlabel RSBI ini hanya cukup tiga tahun saja untuk SD, empat tahun (SMP), dan dan lima tahun (SMA dan SMK). Tapi nyatanya, sudah berjalan enam tahun balum ada satupun RSBI di negeri ini yang menjadi SBI. Plt Dirjen Pendidikan Dasar (Dikdas) Kemendikbud Suyanto mengatakan, faktor mandeknya perkembangan RSBI sebagai pioner terciptanya SBI cukup banyak. Di antara yang paling mencolok, katanya, adalah faktor sumber daya manusia (SDM).
Dengan keberanian SMP Muhammadiyah 2 Genteng Surabaya dalam membangun branding sekolah yang tidak mengekor pada program pemerintah yaitu RSBI ke SBI, maka tidak ikut resah dengan hasil evaluasi pemerintah diatas. Oleh karena itu tidaklah salah kalau Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur melalui Majelis Dikdasmen pada acara Olympiade and Conferensi (OLYCON) 2011 di Malang memberi kesempatan pada Kepala SMP Muhammadiyah 2 Genteng Surabaya (Sudarusman,ST) untuk berbagi ilmu pada para peserta yang hadir dalam konferensi tersebut. Dan bahkan pada Olycon 2011 itu SMP Muhammadiyah 2 Genteng Surabaya meraih prestasi yang gemilang yaitu sebagai “juara umum” tingkat SMP/MTs.
Ini semua tidak lepas dari kepiawaian seorang arsitek pendidikan yang menjadi Kepala Sekolah tiga periode, yang termasuk periode istimewa dalam sejarah sekolah-sekolah Muhammadiyah. Berawal dari kecerdikan dalam membaca peluang untuk masa depan, sehingga berani membangun brand image sekolah yang berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Ketajaman si mata elang (eagle eyes) dalam melihat jarak yang jauh sehingga dapat membidik sasaran dengan tepat pada tujuan yang diinginkan.
Sering kali kita ini latah mengikuti trend yang berkembang bahkan sesuatu yang baru muncul, tetapi tidak memahami grand desain dari pencetus ide itu sendiri. Kita hanya memahami casingnya saja tetapi tidak memahami isinya sehingga dalam menjalankan program itu terkesan hanyalah formalitas belaka.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid tidak boleh menyelenggarakan lembaga pendidikan asal-asalan, harus selalu ada perubahan atau pembaharuan baik secara fisik maupun nonfisik. Sehingga sekolah-sekolah Muhammadiyah memiliki daya tarik tersendiri sesuai dengan ciri khasnya masing-masing. Dengan begitu sekolah Muhammadiyah tidak akan kekurangan murid dalam bersaing dengan sekolah-sekolah negeri atau swasta lainnya. Seperti apa yang dilakukan oleh SMP Muahammadiyah 2 Genteng Surabaya telah membuktikan sebagai pergerakan tajdid di bidang pendidikan. (Byn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar