Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 50 ayat 3 : “Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang
pendidikan untuk dikembangkan menjadi Sekolah Bertaraf International”. Dan
dijabarkan dalam pasal 62 ayat 1 Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan : “Pemerintah bersama-sama pemerintah daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pada jenjang pendidikan
menengah untuk dikembangkan menjadi Sekolah Bertaraf Internasional”. Jadi
sejak tahun 2005-2009 Kementrian Pendidikan Nasional telah membuat rencana
strategis, bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa, perlu dikembangkan
Sekolah Bertaraf Internasional pada tingkat kabupaten/kota melalui kerjasama
yang konsisten antara Pemerintah dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan.
Mulai saat itu banyak sekolah berfikir
untuk memperoleh legitimasi dari pemerintah guna menjadi penyelenggara pendidikan
yang bernama “Rencana Sekolah Bertaraf Internasional” (RSBI). Maraknya
sekolah-sekolah mencari legitimasi dari pemerintah tentang penyelenggaraan
Sekolah Standar Nasional (SSN) dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional,
dengan harapan mendapat subsidi dana dari pemerintah. SMP Muhammadiyah 2
Genteng Surabaya justru mencari alternatif lain dengan menyusun program Sunday
School, yang konsekuensinya harus membiayai secara mandiri. Program Sunday
School yang dirintis oleh civitas akademika SMP Muhammadiyah 2 Genteng Surabaya
pada esensinya tidak mengurangi dari rencana besar Pemerintah tentang RSBI yang
orientasinya berbasis bahasa Inggris. Bahkan dalam Sunday School, setiap
peserta didik dibekali dengan dua bahasa yaitu bahasa Inggris (bahasa
internasional) dan bahasa Arab (sebagai ciri khas sekolah Islam).
Mulai tahun 2009 kepala SMP Muhammadiyah
2 Genteng Surabaya selalu mengajak stafnya berdiskusi tentang wacana baru dari
rencana besarnya, yaitu pada awalnya menfasilitasi peserta didik yang belajar
di sekolah sampai larut malam, sehingga muncullah ide untuk mendirikan semacam
pesantren. Hal ini juga untuk menjawab keinginan wali murid mengenai
anak-anaknya yang akan dikirim ke pondok tetapi tidak mau berpisah dengan
anaknya. Salah satu usulan yang lahir waktu itu adalah memfasilitasi peserta
didik untuk menginap dua atau tiga malam dilingkungan sekolah, setelah
dipertimbangkan plus dan minusnya akhirnya pada suatu hari mengerucut untuk
belajar satu hari penuh yaitu jatuh pada hari minggu (ahad).
Karena tidak mau mengurangi waktu
belajar secara regular, maka mengambil hari liburnya regular yaitu hari ahad. Diberi
nama “Sekolah Minggu” karena waktu belajarnya hanya pada hari minggu saja.
Pemberian nama sekolah minggu juga menimbulkan pro dan kontra baik dari dalam
maupun dari luar atau wali murid, nama merupakan labelitas dipermukaan tetapi
yang penting esensi pelaksanaan. Akhirnya program sekolah minggu tetap berjalan
dan dalam perjalanan peserta didik memberikan sebutan pada diri mereka dengan
istilah siswa “Sunday School” (SS), yang kemudian nama itu diterima oleh semua
peserta didik dan staf pengajar, maka sebutan itu kemudian dipakai sampai
sekarang yaitu “Sunday School” (SS).
Sebelum program ini dilauncing disusunlah
kurikulumnya terlebih dahulu, dengan mengundang staf dan guru-guru ISMUBARIS
(Al Islam, Kemuhammadiyahan, Bahasa Arab dan Inggris). Dari beberapa kali rapat
yang diadakan kemudian mengerucut materi yang diberikan dalam SS meliputi
pengembangan wawasan yang mengarah pada life skill, bahasa yang terdiri dari
bahasa Inggris dan bahasa Arab serta kajian hukum Islam menurut faham
Muhammadiyah (Kitab Tarjih). Dengan harapan setiap peserta didik memiliki
kecakapan hidup dalam menjawab tantangan ke depan dengan menggunakan bahasa
yang dikuasai (Arab dan Inggris) serta dasar aqidah yang mantap.
Pada tahun pelajaran 2010-2011 program
“Sunday School” dilauncing sebagai
program unggulan SMP Muhammadiyah 2 Genteng Surabaya, pada angkatan pertama
yang menjadi peserta didik sebanyak 23 anak yang terdiri dari anak-anak kelas 7
dan 8. Bulan Juni 2011 peserta didik Sunday School melakukan pertukaran budaya
dan presentasi karya siswa ke luar negeri, tepatnya di Sekolah Menengah Sri
Al-Amin Bangi, Sekolah Menengah Angkatan
Belia Islam Malaysia (ABIM) dan Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) serta
Madrasah Al Islam Aljuneid Singapore. Program ini bukan hanya studi tour
sebagai mana yang dilakukan oleh sekolah-sekolah Indonesia pada umumnya yang
berangkat ke Malaysia dan Singapore, tetapi pengenalan budaya khas Jawa Timur
dalam hal ini Tari Remo dan hasil karya anak-anak yang dipresentasikan di depan
dewan guru dan murid-murid sekolah Malaysia dan Singapore dengan menggunakan
bahasa Inggris.
Hasil
evaluasi 2011 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan,
seluruh RSBI yang ada di negeri ini belum layak menjadi SBI. Hasil dari evaluasi tersebut menerangkan jika seluruh RSBI yang jumlahnya
mencapai 1.305 belum layak naik tingkat menjadi SBI. Kondisi ini cukup kontras
dengan strategi awal pencananganan program. Waktu itu dirumuskan jika
keberadaan sekolah berlabel RSBI ini hanya cukup tiga tahun saja untuk SD,
empat tahun (SMP), dan dan lima tahun (SMA dan SMK). Tapi nyatanya, sudah
berjalan enam tahun balum ada satupun RSBI di negeri ini yang menjadi SBI. Plt
Dirjen Pendidikan Dasar (Dikdas) Kemendikbud Suyanto mengatakan, faktor
mandeknya perkembangan RSBI sebagai pioner terciptanya SBI cukup banyak. Di
antara yang paling mencolok, katanya, adalah faktor sumber daya manusia (SDM).
Dengan keberanian SMP Muhammadiyah 2
Genteng Surabaya dalam membangun branding sekolah yang tidak mengekor pada
program pemerintah yaitu RSBI ke SBI, maka tidak ikut resah dengan hasil
evaluasi pemerintah diatas. Oleh karena itu tidaklah salah kalau Pimpinan
Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur melalui Majelis Dikdasmen pada acara Olympiade
and Conferensi (OLYCON) 2011 di Malang memberi kesempatan pada Kepala SMP
Muhammadiyah 2 Genteng Surabaya (Sudarusman,ST) untuk berbagi ilmu pada para
peserta yang hadir dalam konferensi tersebut. Dan bahkan pada Olycon 2011 itu
SMP Muhammadiyah 2 Genteng Surabaya meraih prestasi yang gemilang yaitu sebagai
“juara umum” tingkat SMP/MTs.
Ini semua tidak lepas dari kepiawaian
seorang arsitek pendidikan yang menjadi Kepala Sekolah tiga periode, yang
termasuk periode istimewa dalam sejarah sekolah-sekolah Muhammadiyah. Berawal
dari kecerdikan dalam membaca peluang untuk masa depan, sehingga berani
membangun brand image sekolah yang berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya.
Ketajaman si mata elang (eagle eyes) dalam melihat jarak yang jauh sehingga
dapat membidik sasaran dengan tepat pada tujuan yang diinginkan.
Sering kali kita ini latah mengikuti
trend yang berkembang bahkan sesuatu yang baru muncul, tetapi tidak memahami
grand desain dari pencetus ide itu sendiri. Kita hanya memahami casingnya saja
tetapi tidak memahami isinya sehingga dalam menjalankan program itu terkesan
hanyalah formalitas belaka.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid tidak
boleh menyelenggarakan lembaga pendidikan asal-asalan, harus selalu ada
perubahan atau pembaharuan baik secara fisik maupun nonfisik. Sehingga
sekolah-sekolah Muhammadiyah memiliki daya tarik tersendiri sesuai dengan ciri
khasnya masing-masing. Dengan begitu sekolah Muhammadiyah tidak akan kekurangan
murid dalam bersaing dengan sekolah-sekolah negeri atau swasta lainnya. Seperti
apa yang dilakukan oleh SMP Muahammadiyah 2 Genteng Surabaya telah membuktikan
sebagai pergerakan tajdid di bidang pendidikan. (Byn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar